Kenaikan Harga BBM : Kebijakan Rezim Neoliberal

Kenaikan Harga BBM : Kebijakan Rezim Neoliberal




Menurut hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN), sebanyak 86,1% responden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM, 12,4% setuju dan 1,5% responden menyatakan tidak tahu.

Keputusan terkait kenaikan BBM ini seakan mengulang sandiwara politik sidang paripurna DPR tentang kenaikan BBM pada tahun 2012 lalu, hanya judulnya yang berbeda. Kalau tahun 2012 judulnya: BBM naik atau Tidak, sandiwara politik kali ini judulnya: Kompensasi kenaikan BBM untuk rakyat miskin disetujui atau tidak .

Subsidi baik BBM dan lainnya sering dikatakan jadi beban APBN karena menyedot alokasi APBN. Padahal istilah subsidi BBM itu masih dipertanyakan. Benarkah Pemerintah selama ini memberikan subsidi atau sebaliknya justru rakyat yang memberikan subsidi untuk Pemerintah dan kepentingan para kapitalis?

Contohnya, kasus pemilik Toyota Alphard yang menggunakan premium mungkin dianggap mengusik rasa keadilan. Ironisnya Pemerintah tak pernah mengeluhkan subsidi untuk para kapitalis atau perusahaan asing. Belum lagi kasus penyelamatan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Kasus paling akhir adalah kasus Lumpur Lapindo.

Itu semua yang menikmati adalah orang kaya, sementara yang membayar adalah rakyat melalui APBN yang bersumber dari pajak, inikah yang disebut adil? Padahal di sisi lain, banyak potensi penerimaan negara hilang karena kebijakan Pemerintah yang lebih pro asing daripada rakyat sendiri.

Rencana kenaikan harga BBM, atau secara lebih luas penghapusan subsidi, tidak lain adalah amanat liberalisasi  dan juga perintah Bank Dunia dengan menjadikannya syarat pemberian utang seperti tercantum di dalam dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001). Juga tertuang dalam dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 yang menyebutkan: “Tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energi untuk membantu membuat sektor energi lebih efisien dan transparan, dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta…”

Karena itu, pengurangan subsidi bahkan sampai penghapusan subsidi bagi pemerintah dianggap sebuah amanat bahkan kewajiban yang harus dipenuhi, meski harus memberatkan rakyat. Untuk itu di dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM dinyatakan: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional. Artinya, pencabutan subsidi BBM.

Meski berbagai alasan dikemukakan Pemerintah, namun yang pasti, kenaikan harga BBM yang terus didesakkan sejak lama hingga sekarang ini jelas akan sangat menguntungkan swasta khususnya asing.

Kenaikan BBM saat ini, sebenarnya hanya membuktikan bahwa Rezim saat ini adalah rezim Neoliberal dan antek asing karena kenaikan Harga BBM adalah amanat asing yang dilegalkan melalui UU Migas yang disahkan oleh DPR, di setujui oleh Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan oleh Pemerintah. Perbedaan pendapat mereka selama ini hanya sandiwara politik untuk menipu dan membohongi rakyat.

Wahai kaum muslimin, belum cukupkah kezaliman sistem kapitalis yang diterapkan oleh rezim neoliberal terhadap kita ? Masih perlukah Sistem dan Rezim Neoliberal ini kita biarkan terus menimpa kita? Tentu saja tidak.

Karena itu mari satukan upaya baik tenaga, pikiran maupun harta untuk mengakhiri sistem dan rezim neoliberal ini. Sebagai gantinya kita segera terapkan syariah Islam secara total termasuk pengelolaan migas dan SDA lainnya. Jalannya hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. 

Eli Amalia
Jatinangor-Sumedang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu