HILAL AWAL RAMADHAN DAN KESATUAN UMAT ISLAM

HILAL AWAL RAMADHAN DAN KESATUAN UMAT ISLAM

Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj News Agency) edisi 9 Juli 2013 memberitakan, berdasarkan telah terlihat bulan sabit (hilal), Jama’ah Muslimin (Hizbullah) menetapkan, 1 Ramadhan 1434 jatuh pada hari selasa 9 Juli 2013. 
Tim Rukyatul Hilal Dewan Hisab dan Rukyat (DHR) Jama’ah Muslimin (Hizbullah) melaporkan, hilal terlihat di Jalur Gaza Senin (8/7) setelah maghrib pukul 19.54 waktu setempat selama 0,5 menit oleh empat orang saksi.
"Berdasarkan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, agar umat Islam melaksanakan puasa berdasarkan hilal, di negeri manapun dapat terlihat, maka Imaamul Muslimin Muhyiddin Hamidy menetapkan 1 Ramadhan Selasa 9 Juli," kata Sekretaris DHR Wahyu Iwa Sumantri.
Wahyu menyebutkan, tim rukyat berhasil melihat hilal, terdiri dari empat relawan Indonesia di Jalur Gaza, Syamsudin, Edi Wahyudi, Abdurrahman dan Karidi.
Hilal juga terlihat di Cakung, Jakarta Timur, pada Senin sore (8/7), oleh tiga orang saksi, H.M. Labib,S.Pd.I. (30), Nabil,SS,MA. (27) dan Afriyano (35), demikian rilis Lajnah Falakiyah Al-Husiniyah Jakarta. Hilal terlihat mulai pukul 17:52:00 sampai pukul 17:53:30 WIB selama 1 menit 30 detik dengan tinggi Hilal 2'55"13 pada posisi kiri atas matahari.
Ketiga orang yang melihat hilal di Cakung diambil sumpah oleh Hakim Penyumpah Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur, Drs. Amril Mawardi,SH,MA. 
Berdasarkan terlihat hilal di Cakung, Jakarta Timur itu, Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga memutuskan puasa Ramadhan jatuh pada Selasa (9/7).
Selain itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah menetapkan beberapa hari sebelumnya, bahwa 1 Ramadhan 1434 H, jatuh pada hari Selasa (9/7). Bedanya, penetepan ini berdasarkan data ilmiah yang dikumpulkan PP Muhammadiyah bahwa untuk tahun ini berdasarkan dua kriteria, yaitu pada pukul 2:15 WIB Senin (8/7), semua data falakiyah, astronomi sama terjadi konjungsi bumi, bulan pada garis lurus ini pertanda bulan Sya’ban segera berakhir.
Lalu pada saat matahari terbenam, bulan belum terbenam itulah yang namanya hilal berapa pun derajatnya. Penetapan ini berdasarkan dalil-dalil syariat yang memerintahkan begitu banyak ayat Al-Qur’an agar memperhatikan peredaran, bumi, bulan, matahari untuk memperhitungkannya.
Sementara itu, Departemen Agama RI, menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriah jatuh pada Rabu 10 Juli 2013. Keputusan ini disampaikan Menteri Agama Suryadharma Ali setelah menggelar sidang Isbat di Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Senin sore (8/7).
Hal itu berdasarkan laporan hasil rukyatul hilal dari Tim Hisab dan Rukyat Kementerian Agama. disampaikan oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Mukhtar Ali.
“Laporan rukyatul hilal dari 36 orang petugas di 53 titik yang tersebar di 33 provinsi, semua nama-nama tersebut di atas menyatakan tidak melihat hilal,” kata Mukhtar Ali.
Malaysia, Qatar, Mesir dan Jordania dilaporkan, awal Ramadhan Rabu (10/7), karena tidak melihat hilal. 
Rukyatul Hilal
Tentang landasan Rukyatul Hilal (melihat bulan sabit) disebutkan di dalam Surat Al-Baqarah ayat 185 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
Ibnu Katsir menyebutkan, ini merupakan hukum wajib bagi orang yang menyaksikan hilal untuk puasa Ramadhan.
Al-Maraghi menjelaskan, siapapun yang menyaksikan masuknya bulan, dan kesaksiannya itu melalui melihat hilal tanda masuk bulan (tanggal satu) atau mengetahui melalui orang lain, maka hendaknya ia berpuasa.
Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak, yang tersebut di dalam Sunnah Nabawi, dan sudah dilaksanakan sejak Islam permulaan hingga sekarang.
Pelaksanaannya secara terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Pada masa Mulkan, baik Adhan maupun Jabbariyah, walaupun telah bergeser dari sietem Khilafah ke sistem Mulkan, tetapi sentral pengambilan keputusan Ru'yatul Hilal oleh pimpinan umat Islam tetap terjaga. Dan memang penentuan awal Ramadhan merupakan hak dan wewenang Imaam / Khalifah. 
Tentang rukyatul hilal ini, dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
 Artinya : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R.  Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Perbedaan Hilal
Tentang perbedaan menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan Hari Raya terutama di Indonesia selama ini dianggap tidak menimbulkan masalah yang terlalu berarti di kalangan masyarakat. Karena umat Islam di Indonesia selama ini sudah terbiasa dengan penentuan hari raya tersebut.
Para ulama mujtahidin memang berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk menentukan tanggal Ramadhan dan hari raya.
Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri saja. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun kalau umat Islam kembali pada tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, insya Allah perbedaan itu tidak terjadi.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ 
Artinya : “Shaumlah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian shaum hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R.  Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu). 
Itu perintah kepada seluruh umat Islam (dhamirnya jamak) dalam memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan, siapapun umat Islam dari seluruh dunia bisa melihatnya. Manusia tidak bisa memutlakkan bulan itu harus tampak di Indonesia. Wewenang Allah dengan segala kemahakuasaannya menampakkan bulan itu di ujung belantara Afrika, di padang Saudi Arabia, di Samudera Antartika, atau di sudut ufuk manapun di belahan dunia ini. Sesuai kehendak-Nya.
Masalah penentuan satu Ramadhan dan satu Syawal sebenarnya sudah dibicarakan dan diputuskan bersama pada Musyawarah Ahli Hisab dan Rukyat Internasional yang dihadiri 19 negara berpenduduk Islam, termasuk Indonesia, di Istambul, Turki tanggal 27-30 November 1978.
Negera lainnya yang hadir meliputi Afghanistan, Aljazair, Asia Tengah, Bahrain, Bangladesh, Irak, Kazakstan, Kuwait, Libanon, Malaysia, Maroko, Pakistan, Persatuan Edmirat Arab, Saudi Arabia, Siprus, Sudan, Tunisia, Turki, dan Yordania. Ditambah utusan dari Pusat Islam Brunei, Pusat Islam Paris, dan Rabithah Alam Islami.
Musyawarah yang menghasilkan Konvensi Istambul diawali dengan menyitir Al-Quran Surat Ali imran ayat 103, “Dan berpegang-teguhlah kepada tali Allah dengan bersatu-padu dan janganlah berpecah-belah. Dan ingatlah nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadamu, yaitu ketika kamu bermusuhan, maka disatukan-Nya hati-hati kamu, maka jadilah kamu dengan nikmat Allah itu menjadi bersaudara”. Menunjukkan keinginan kuat negeri-negeri berpenduduk Islam untuk  menkalin persatuiand an kesatuan dalam memeulai puasa Ramadhan dan dalam berhari raya.
Konvensi Istambul menyebutkan bahwa apabila bulan telah kelihatan di suatu negeri berarti semua negeri telah melihatnya. Dan yang ditugaskan melihat bulan adalah negeri Mekkah Saudi Arabia, karena alamnya yang cerah dan terang-benderang serta jarang mendung dan hujan. Mekkah diwajibkan mengumumkannya ke seluruh dunia Islam karena bulan cuma satu.
Pointers keputusan Konvensi Istambul 1978 dapat dijadikan sebagai rujukan persatuan dan kesatuan umat Islam secara global. 
Pertama, yang menjadi dasar adalah “melihat bulan”, apakah melihatnya dengan mata telanjang (tidak menggunakan peralatan) atau melalui peralatan atau penelitian bintang, tidak ada perbedaaan.
Kedua, menurut perhitungan para ahi astronomi (falak) dari sudut pandang agama di mana bulan dapat dilihat di ufuk dalam padangan manusia setelah matahari tenggelam dan hilangnya bayangan yang menyelimuti bulan. Ini disebut rukyat.
Ketiga, untuk melihat bulan, tidak ada tempat yang khusus ditetapkan. Bila hilal dapat dilihat di bagian bumi manapun, hal itu dapat dijadikan patokan dan sah dimulainya awal bulan. Untuk mencapai persatuan dan kesatauan serta solidaritas dunia Islam dalam masalah ini, hilal yang terlihat harus dilaporkan ke observatorium di Mekkah.
Keempat, menteri-menteri yang terkait di dunia Islam, lembaga-lembaga pemerintah yang mengurusi urusan agama, dan lembaga resmi seperti Al-Azhar dan Rabithah Alam Islami, dan yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi muslimin, agar berjuang untuk kesatuan muslimin, bekerja sama dalam melaksanakan isi konvensi dan meminta semua pihak yang berwenang untuk memikul tanggung jawab melakukan hal yang sama.
Bila Konvensi Istambul ini ditaati secara konsekwen dan konsisten, maka insya Allah dunia Islam akan bersatu dalam memulai ibadah puasa Ramadhan dan dalam melaksanakan Shalat Idul Fitri secara serentak. Apalagi dalam melaksanakan Shalat Idul Adha yang patokannya adalah ibadah haji di Arafah, bukan di tempat lain.
Sementara rentang waktu Indonesia dan Arab Saudi hanyalah selisih 4 jam, dan rentang waktu terlama di belahan dunia ini adalah 12 jam. Tidak sampai melebihi satu hari 24 jam. Plus, bulan itu cuma satu ! Semoga kita bisa mengambil rujkan dan ibrah dari Konvensi istambul, demi  terjalinnya persatuan, kesatuan, dan solidaritas dunia Islam.
Sentral Keputusan
Allah berfirman di dalam Surat An-Nisa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tha’atlah kamu kepada Allah, dan tha’atlah kamu kepada Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu adalah yang lebih baik dan sebaik baiknya penyelesaian.” (QS An-Nisa ayat 59).
Pada ayat tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman untuk tha’at kepada Allah, tha’at kepada Rasulullah, dan tha’at kepada ulil amri minkum. Ketha’atan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dengan ketha’atan kepada Rasulullah. Demikian pula ketha’atan kepada Allah dan kepada Rasulullah, tidak dapat dipisahkan dari ketha’atan pada ulil amri.
Pada ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutnya dengan Ulil Amri minkum. Minkum di sini adalah seperti pada awal ayat, yaitu “orang-orang beriman”. 
Hal ini dipertegas dengan lanjutan ayat :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya : “maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”.
Hal ini menunjukkan bahwa Ulil Amri adalah kepemimpinan khas Islam, berdasarkan Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri bermakna orang-orang yang mengurus kepentingan atau yang memimpin orang-orang beriman berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita wajib mentha’ati ulil amri, selama ulil amri tersebut memimpin berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, secara dalil syar’i tidak bisa dibantah lagi tentang wajib adanya Ulil Amri. Ulil Amri adalah bagian sangat penting dalam mewujudkan ketha’atan kepada Allah dan Rasul. Ketha’atan kepada Allah tidak bisa dipisahkan dengan ketha’atan kepada Rasul. Demikian juga ketha’atan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak bisa dipisahkan dari ketha’atan kepada Ulil Amri minkum. 
Ulil Amri sangat esensi terhadap terwujudnya syari’at dan kejayaan umat Islam. Tegaknya Ulil Amri di tengah kaum muslimin menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Ulil Amri yang dimaksud adalah kepemimpinan khas Islam, baik cara pengangkatan, kebijaksanaan dan pola kepemimpinannya. Semua diatur sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tentang kaitan ketha’atan kepada Ulil Amri dengan kethaatan kepda Allah dan Rasul-Nya, disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي 
Artinya : "Barangsiapa tha’at kepadaku, maka sungguh ia tha’at kepada Allah, dan barangsiapa yang memaksiatiku maka sungguh ia telah memaksiati Allah. Barangsiapa mentha’ati amirku maka sungguh ia telah mentha’atiku dan barangsiapa yang memaksiati amirku maka sungguh ia telah memaksiatiku”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Adanya ulil amri di antara orang-orang beriman merupakan sentral kepemimpinan umat Islam. Sehingga umat Islam tidak mudah dipecah-belah dan tidak mudah diadu domba. Akan tetapi hidup berjama’ah secara tertib dan terpimpin. Seperti firman Allah Subhanahu Wa ta’ala yang menegaskan:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي اْلأَ مْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمْ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
Artinya : “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (Surah An-Nisa ayat 83).
 Tentang kewajiban adanya pemimpin juga didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, antara lain :
وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Artinya : “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir atau pemimpin.” (Hadits Riwayat Ahmad).
Imam Asy-Syaukani berkata : “Hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pemimpin, umat Islam akan terhindar dari perselisihan, sehingga akan terwujud kasih sayang di antara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak mengikuti pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Disamping itu, kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
كَانَتْ بَنُوا إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءَ كُلَمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيُّ وَ إِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ. وَسَيَكُونُوا خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَاالْأَوَّلِ وَاعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائَلُهُمْ عَمَا اسْتَرْعَاهُمْ 
Artinya : “Adalah Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap nabi meninggal diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku, dan akan ada beberapa khalifah yang banyak. Para shahabat berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Tetapilah bai’at yang pertama kemudian yang pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah menanyakan kepada mereka tentang apa yang diserahkan oleh Allah kepada mereka.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Ulil amri merupakan kepemimpinan khas Islam, atau disebut juga dengan Imaamah atau Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah.
Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai “Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia).
Asy Syaikh Muhammad  Al-Khudlari Bik di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan khilafah (kepemimpinan Islam) setelah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ulil Amri atau Imaamah atau Khilafah, diangkat (dibai’at) oleh umat Islam sebagai Imaam atau Khalifah bagi kaum muslimin, sesuai dengan sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin (QS Al-Anbiya 107). Tidak dibatasi teritorial negeri, warna kulit, bahasa ataupun bangsa.
Karena itu, dalam menentukan awal Ramadhan atau masuk tanggal 1 Syawal nanti, dengan melihat hilal (ru’yatul hilal) oleh umat Islam di manapun berada, sesuai kehendak Allah kepada siapa yang Allah kehendaki untuk melihat hilal itu. Dan yang melihat itu adalah muslim juga, yang bersyahadat, yang shalat, bahkan tersumpah. Mereka yang melihat adalah manusia juga.
Puasa Bersama Imaam
Imam Ahmad mengatakan :
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
Artinya : “Berpuasalah bersama Imaam bersama Jama’ah Muslimin, baik dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad mengatakan :
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
Artinya : “Berpuasalah bersama Imaam bersama Jama’ah Muslimin, baik dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Artinya : “Puasa adalah hari kalian berpuasa dan Idul fitri adalah hari kalian beridul fitri dan Idul Adha adalah hari kalian menyembelih qurban.” (H.R. Tirmidzi dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anha).
Imam At-Tirmidzi berkata : “Sebagian ulama menafsiri hadits di atas bahwa berpuasa dan berbuka itu bersama Jama’ah Muslimin di bawah pimpinan Imaam / Khalifah.
Imam Badruddin Al-‘Aini dalam Kitab “Umdatul Qari” berkata : “Kaum muslimin senantiasa wajib mengikuti Imaam / Khalifah. Jika Imaam berpuasa, mereka wajib berpuasa, dan jika Imaam berbuka (ber’idul Fitri), mereka wajib pula berbuka”.
Alhamdulillah, keberadaan Imaam atau Khalifah atau Ulil Amri, yang antara lain berwenang menentukan awal Ramadhan, diberitakan oleh Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj News Agency) Senin tengah malam (8/7).
Dalam pemberitaan itu disebutkan, bahwa berdasarkan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, agar umat Islam melaksanakan puasa berdasarkan hilal, di negeri manapun dapat terlihat, maka Imaamul Muslimin Muhyiddin Hamidy menetapkan 1 Ramadhan Selasa 9 Juli 2013.
Pengumuman ini disebarkan secara meluas ke seluruh penjuru kaum muslimin di manapun  berada.
Tentu saja, di tengah era global yang semakin mendewasakan umat Islam, ukhuwah Islamiyah hendaknya tetap dapat terwujud di tengah perbedaan penetapan yang ada, khususnya dalam penetapan satu Ramadhan.
Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat melaksanakan ibadah Puasa dengan sungguh-sungguh semata-mata ikhlas karena Allah. Sehingga Allah memperkenankan kita memperoleh gelar “Taqwallah”. Amin Ya Robal ‘Alamin. 
Sumber : Mi’raj News Agency (MINA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu