Hukum Bunuh atas Orang yang Menghina Nabi

Lakum Dienukum Walyadien

 Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Dalam Islam, orang yang jelas-jelas menghina Islam hukumannya adalah hukum bunuh. Dibunuh karena pendapatnya merusak Islam
Orang yang menciptakan dan menyebarkan pendapat yang merusak/ menghina, mengingkari ataupun menyelewengkan Islam ternyata dalam sejarah Islam pun dibunuh.
Jahm bin Shofwan As-Samarkandi adalah orang yang sesat, pembuat bid’ah, pemimpin aliran sesat Jahmiyah. Ia mati (dibunuh) pada masa tabi’in kecil (belakangan). Ibnu Hajar Al-‘Asqolani mengatakan dalam kitabnya, Lisanul Mizan, “Saya tidak mengetahui dia (Jahm) meriwayatkan sesuatu tetapi dia menanam keburukan yang besar, titik.”
Jahm bin Shofwan telah dibunuh pada tahun 128H .[1]
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari jalan Muhammad bin Shalih maula (bekas budak) Bani Hasyim, ia berkata, Salm (bin Ahwaz) berkata ketika menangkap Jahm, “Wahai Jahm, sesungguhnya aku tidak membunuhmu karena kamu memerangiku (memberontakku). Kamu bagiku lebih sepele dari itu, tetapi aku telah mendengar kamu berkata dengan perkataan yang kamu telah memberikan janji kepada Allah agar aku tidak memilikimu kecuali membunuhmu”. Maka ia (Salm bin Ahwaz) membunuhnya.
Dan riwayat dari jalan Mu’tamir bin Sulaiman dari Halad At-Thafawi, bahwa telah sampai khabar kepada Salm bin Ahwaz sedangkan ia (Salim) di atas kepolisian Khurasan, (beritanya adalah): Jahm bin Shofwan mengingkari bahwa Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya bicara, maka ia (Salm bin Ahwaz) membunuhnya (Jahm bin Shofwan)..
Riwayat dari jalan Bakir bin Ma’ruf, ia berkata, Saya melihat Salm bin Ahwaz ketika memukul leher (membunuh) Jahm maka menghitamlah wajah Jahm.[2]
Hadits-hadits tentang suruhan membunuh orang yang menghina Islam, menghalalkan dibunuhnya orang yang menghina Islam, dan disertai praktek yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah jelas. Praktek itu dilakukan pula oleh kalangan tabi’in. Generasi selanjutnya pun mempraktekkannya, hingga Al-Hallaj, tokoh tasawuf sesat dibunuh di Baghdad tahun 309H/ 922M atas keputusan para ulama, karena Al-Hallaj mengatakan anal haqq (aku adalah al-haq/ Allah). Lontaran pendapat Al-Hallaj itu merusak Islam, maka dihukumi dengan hukum bunuh. Maka walaupun ada orang-orang yang mengingkari semua itu, namun kebenaran hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , praktek para sahabat, tabi’in dan para ulama berikutnya telah membuktikannya.
Hukum Bunuh atas Orang yang Menghina Islam, Allah, dan Rasul-Nya.
Ka’b bin Al-Asyraf dibunuh karena ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
 حَدِيثُ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ ائْذَنْ لِي فَلْأَقُلْ قَالَ قُلْ فَأَتَاهُ فَقَالَ لَهُ وَذَكَرَ مَا بَيْنَهُمَا وَقَالَ إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ قَدْ أَرَادَ صَدَقَةً وَقَدْ عَنَّانَا فَلَمَّا سَمِعَهُ قَالَ وَأَيْضًا وَاللَّهِ لَتَمَلُّنَّهُ قَالَ إِنَّا قَدِ اتَّبَعْنَاهُ الْآنَ وَنَكْرَهُ أَنْ نَدَعَهُ حَتَّى نَنْظُرَ إِلَى أَيِّ شَيْءٍ يَصِيرُ أَمْرُهُ قَالَ وَقَدْ أَرَدْتُ أَنْ تُسْلِفَنِي سَلَفًا قَالَ فَمَا تَرْهَنُنِي قَالَ مَا تُرِيدُ قَالَ تَرْهَنُنِي نِسَاءَكُمْ قَالَ أَنْتَ أَجْمَلُ الْعَرَبِ أَنَرْهَنُكَ نِسَاءَنَا قَالَ لَهُ تَرْهَنُونِي أَوْلَادَكُمْ قَالَ يُسَبُّ ابْنُ أَحَدِنَا فَيُقَالُ رُهِنَ فِي وَسْقَيْنِ مِنْ تَمْرٍ وَلَكِنْ نَرْهَنُكَ اللَّأْمَةَ يَعْنِي السِّلَاحَ قَالَ فَنَعَمْ وَوَاعَدَهُ أَنْ يَأْتِيَهُ بِالْحَارِثِ وَأَبِي عَبْسِ بْنِ جَبْرٍ وَعَبَّادِ بْنِ بِشْرٍ قَالَ فَجَاءُوا فَدَعَوْهُ لَيْلًا فَنَزَلَ إِلَيْهِمْ قَالَ سُفْيَانُ قَالَ غَيْرُ عَمْرٍو قَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ إِنِّي لَأَسْمَعُ صَوْتًا كَأَنَّهُ صَوْتُ دَمٍ قَالَ إِنَّمَا هَذَا مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ وَرَضِيعُهُ وَأَبُو نَائِلَةَ إِنَّ الْكَرِيمَ لَوْ دُعِيَ إِلَى طَعْنَةٍ لَيْلًا لَأَجَابَ قَالَ مُحَمَّدٌ إِنِّي إِذَا جَاءَ فَسَوْفَ أَمُدُّ يَدِي إِلَى رَأْسِهِ فَإِذَا اسْتَمْكَنْتُ مِنْهُ فَدُونَكُمْ قَالَ فَلَمَّا نَزَلَ نَزَلَ وَهُوَ مُتَوَشِّحٌ فَقَالُوا نَجِدُ مِنْكَ رِيحَ الطِّيبِ قَالَ نَعَمْ تَحْتِي فُلَانَةُ هِيَ أَعْطَرُ نِسَاءِ الْعَرَبِ قَالَ فَتَأْذَنُ لِي أَنْ أَشُمَّ مِنْهُ قَالَ نَعَمْ فَشُمَّ فَتَنَاوَلَ فَشَمَّ ثُمَّ قَالَ أَتَأْذَنُ لِي أَنْ أَعُودَ قَالَ فَاسْتَمْكَنَ مِنْ رَأْسِهِ ثُمَّ قَالَ دُونَكُمْ قَالَ فَقَتَلُوهُ *.
Dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Siapakah yang akan (mencari) Ka’b bin Al-Asyraf. Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya ”. Muhammad bin Maslamah pun segera bangkit berdiri dan berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka jika aku membunuhnya ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Benar”. Maka Muhammad bin Maslamah berkata : “Ijinkanlah aku membuat satu strategi (tipu muslihat)”. Beliau menjawab : “Lakukanlah !”.
Kemudian Muhammad bin Maslamah mendatangi Ka’b bin Al-Asyraf dan berkata kepadanya : “Sesungguhnya laki-laki ini (maksudnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) meminta kepada kita shadaqah. Sungguh, ia telah menyulitkan kita. Dan aku (sekarang) mendatangimu untuk meminjam kepadamu”. Maka Ka’b menjawab : “Aku pun juga demikian ! Demi Allah, sungguh engkau akan merasa jemu kepadanya”. Ibnu Maslamah berkata : “Sesungguhnya kamu telah mengikutinya dan kami tidak akan meninggalkannya hingga kami melihat bagaimana keadaan yang ia alami kelak. Dan sesungguhnya kami berkeinginan agar engkau sudi meminjami kami satu atau dua wasaq makanan”. Ka’b berkata : “Ya, tapi hendaknya engkau menggadaikan sesuatu kepadaku”. Ibnu Maslamah dan kawan-kawannya bertanya : “Jaminan apa yang engkau inginkan ?”. Ka’b menjawab : “Hendaknya engkau menggadaikan wanita-wanita kalian”. Mereka berkata : “Bagaimana kami bisa menggadaikan wanita-wanita kami kepadamu sementara engkau adalah laki-laki ‘Arab yang paling tampan”. Ka’b berkata : (Kalau begitu), gadaikanlah anak-anak kalian”. Mereka berkata : “Bagaimana kami bisa menggadaikan anak-anak kami, lantas akan dicaci salah seorang di antara mereka dengan mengatakan : ‘ia digadaikan dengan satu wasaq atau dua wasaq makanan’ ? Yang demikian itu akan membuat kami cemar. Akan tetapi kami akan menggadaikan senjata kami”. Maka Ka’b membuat perjanjian dengan Ibnu Maslamah agar ia (Ibnu Maslamah) mendatanginya (pada hari yang ditentukan). Maka Ibnu Maslamah pun mendatanginya pada suatu malam bersama Abu Naailah – ia adalah saudara sepersusuan Ka’b. Mereka berdua pun memanggil Ka’b untuk datang ke tempat senjata yang digadaikan. Ka’b pun memenuhi panggilan mereka. Istri Ka’b bertanya kepada Ka’b : “Mau pergi kemana malam-malam begini ?”. Ka’b menjawab : “Ia hanyalah Muhammad bin Maslamah dan saudaraku Abu Naailah”. Istrinya berkata : “Sungguh aku mendengar suara bagaikan tetesan darah”. Ka’b berkata : “Dia itu saudaraku Muhammad bin Maslamah dan saudara sepersusuanku Abu Naailah. Sesungguhnya seorang dermawan jika ia dipanggil di malam hari meskipun untuk ditikam, ia akan tetap memenuhinya”. Muhammad bin Maslamah masuk ke tempat yang telah ditentukan bersama dua orang laki-laki. Ia (Ibnu Maslamah) berkata kepada mereka berdua : “Jika Ka’b datang, maka aku akan mengucapkan sya’ir kepadanya, dan menciumnya. Jika kalian melihat aku sudah menyentuh kepalanya, maka pukullah ia”. Muhammad bin Maslamah juga berkata : “Kemudin aku juga akan menyilakan kalian menciumnya pula”. Ka’b pun datang kepada mereka dengan pakaian yang indah dan bau yang harum semerbak. Muhammad bin Maslamah berkata : “Aku belum pernah mencium bau yang lebih harum dibandingkan hari ini”. Ia menjawab : “Aku memang mempunyai istri yang paham dengan minyak wangi yang paling unggul, dan ia adalah orang Arab yang paling baik”. Muhammad bin Maslamah berkata : “Apakah engkau mengijinkan aku untuk mencium kepalamu ?”. Ka’b menjawab : “Ya, silakan”. Maka ia pun mencium kepala Ka’b, yang kemudian diikuti dua orang temannya yang ikut mencium kepalanya pula. Muhammad bin Maslamah kembali berkata : “Apakah engkau mengijinkan aku untuk mencium kepalamu lagi ?”. Ka’b menjawab : “Ya”. Ketika ia memegang kepala Ka’b, ia pun berkata kepada dua orang temannya : “Bunuhlah ia !”. Maka mereka pun membunuhnya. Setelah itu, mereka mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhabarkan perihal Ka’b bin Al-Asyraf” (Muttafaq ‘alaih/ HR. Al-Bukhari no. 4037. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 1801].
Orang yang jelas-jelas menghina Islam hukumannya adalah hukum bunuh.
Dalam kitab Bulughul Maram dan syarahnya, Subulus Salam pada bab qitalul jani wa qotlul murtad dikemukakan hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasaai, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no 3665,
3795 حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى الْخُتَّلِيُّ أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَدَنِيُّ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ عُثْمَانَ الشَّحَّامِ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ فَيَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ قَالَ فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَشْتُمُهُ فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا فَوَقَعَ بَيْنَ رِجْلَيْهَا طِفْلٌ فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ فَلَمَّا أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَمَعَ النَّاسَ فَقَالَ أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ فَقَامَ الْأَعْمَى يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا كَانَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي وَأَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأْتُ عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ *. (أبو داود).
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Hingga pada satu malam, ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya. Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang dan bersabda : “Aku bersumpah dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”. Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara. Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saksikanlah bahwa darah wanita itu hadar / sia-sia” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4361, An-Nasaa’iy no. 4070, dan yang lainnya; shahih].
Darahnya itu hadar, maksudnya darah perempuan yang mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sia-sia, tak boleh ada balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat/ tebusan darah. Jadi darahnya halal alias halal dibunuh.
Juga ada hadits,
3796 حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ عَنْ جَرِيرٍ عَنْ مُغِيرَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ يَهُودِيَّةً كَانَتْ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ فَأَبْطَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا *. أبو داود
Diriwayatkan dari As-Sya’bi dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita Yahudi telah memaki/ menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencelanya, maka seorang lelaki mencekiknya hingga mati, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan darahnya. (HR Abu Dawud, menurut Al-Albani dalam Irwaul Ghalil hadits no 1251 ini isnadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim).
Itu artinya halal dibunuh.
Sejarah tahapan menyikapi orang kafir
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan suruhan memerangi orang kafir, bersikap keras, dan membenci mereka telah jelas nashnya (teksnya). Meskipun demikian, orang JIL seperti Ulil Abshar Abdalla sengaja ingin menyembunyikannya. Di samping jelasnya ayat-ayat tersebut, para ulama telah menjelaskan pula tentang sejarah tahapan sikap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabatnya dalam menghadapi orang-orang kafir. Di antaranya Ibnul Qayyim menjelaskan, yang intinya sebagai berikut:
Pasal: Urutan petunjuk dalam melawan kuffar dan munafik sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangkitkan sampai meninggal dunia.
“Pertama kali yang diwahyukan Allah kepadanya ialah supaya beliau membaca,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق
Dengan atas nama rabb yang telah menciptakan. Itulah awal nubuwwahnya. Dia memerintah supaya beliau membaca dengan nama diri-Nya dan belum diperintahkan pada saat itu untuk bertabligh (menyampaikan).
Kemudian turun ayat,
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ(1) قُمْ فَأَنْذِرْ(2
Hai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan ! (QS Al-Muddattsir: 1-2).
Beliau diangkat menjadi Nabi dengan firman-Nya اقرأ dan menjadi Rasul dengan firman-Nya ياايهاالمدثر.
Kemudian perintah memberi peringatan kepada kaum kerabatnya yang dekat, kemudian kepada kaumnya, lalu lingkungan sekelilingnya dari bangsa Arab, kemudian kepada Arab Qatibah, kemudian kepada seluruh alam dunia.
Beliau menjalankan da’wah setelah pengangkatnnya sebagai Nabi dan Rasul selama kurang lebih sepuluh tahun tanpa peperangan, dan diperintahkan untuk menahan, sabar, dan memaafkan. Kemudian baru diizinkan untuk berhijrah dan diizinkan pula untuk menyerang, kemudian diperintahkan berperang melawan orang yang menyerangnya. Kemudian diperintahkan untuk berperang melawan musyrikiin sehingga dien ini semua milik Allah.
Kaum kafir yang hidup berdampingan dengan beliau setelah turunnya perintah jihad ini menjadi tiga golongan:
  1. Ahlus Sulhi (perdamaian) dan Hudnah (gencatan senjata).
  2. Ahlul Harbi (yang harus diperangi)
  3. Ahludz Dzimmah (yang di bawah kekuasaan pemerintah Islam).
Dan memerintah kepada Ahlus Sulhi untuk menyempurnakan perjanjiannya. Beliaupun diperintahkan untuk menepatinya selama mereka istiqamah/ konsisten atas perjanjian. Jika ditakutkan di antara mereka ada yang berkhianat, maka perjanjian ditinggalkan. Dan tidak memerangi mereka sampai mereka melanggar perjanjian. Dan memang beliau diperintah untuk memerangi orang yang melanggar perjanjian…”.[3]
(Dikutip dari buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Menangkal Bahaya JIL dan FLA terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2004).
===
[1] Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, Lisanul Mizan, juz 2, halaman 142.
[2] Ibnu Hajar al-‘Asqolani, Fat-hul Bari, juz 13, halaman 346.
[3] Lihat Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’aad fii Hudaa Khairil ‘Ibaad, 2/81 seperti dikutip Dr Sayyid Muhammad Nuh, Manhaj Rassulullah, terjemahan Abu Miqdad Muhammad, Majlis Ta’lim Radio Dakta Bekasi, cetakan pertama, 1998, hal 138-139.  [panjimas.com]
Walahu a’lam bisshawaab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu