Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi
Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi
Posted by akbar in Perjalanan on 05 10th, 2013 | no responses
Dibalik keindahan alam lereng Merapi dan Merbabu, tersimpan ancaman aqidah yang serius.
Matahari baru saja sepenggal kala Kijang Innova biru tua itu melaju kencang. Jalan sepanjang Jogjakarta-Magelang tampak cukup padat oleh lalu-lalang kendaraan. Pak Djanto dengan lihai memacu mobilnya dengan cepat. Pandangannya fokus ke depan sambil sesekali melirik spion kiri dan kanan. Terkadang ia harus zig-zag dan menyalip mobil di depannya.
Setelah 1 jam perjalanan kami tiba di dataran tinggi. Medan pun berubah. Jalan menanjak dan berkelok-kelok. Sesekali berpapasan dengan mobil pick up yang membawa hasil pertanian berupa kol, sawi, dan cabe.
Alam semakin menunjukkan kemolekannya ketika semakin ke atas. Kami melewati jalan sempit yang di samping kirinya jurang dengan kemiringan sekitar 40-70 derajat, yang telah disulap menjadi sawah. Setelah 2 jam kami tiba di Dusun Windu Sajan, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ketika keluar kendaraan, udara sejuk langsung menyergap kami.
Beberapa warga yang sedang asyik menyeruput kopi di warung angkringan langsung berhambur dan menyalami kami. “Assalamu’alaikum…Saking pundi, Pak?” kata salah seorang mereka dengan ramah. Warga Windu Sajan terkenal ramah. Mereka selalu menyapa dan menjabat tangan tamu yang datang. Karena itu, siapa pun yang datang ke tempat ini akan merasa nyaman.
Ketika erupsi Merapi 2010, Desa Wonolelo yang memiliki 18 dusun ini ikut tersapu wedus gembel. Satu-satunya jembatan menuju Dusun Windu ambrol diterjang lahar dingin. Namun, kini telah dibangun lagi dan hanya untuk kendaraan roda dua. Batu sungai dan pasir masih bertumpuk-tumpuk. Efek parah erupsi adalah hasil panen yang gagal. Tidak hanya itu, rumah-rumah penduduk juga sempat disiram debu.
Basis Dai
Salah satu bantuan yang masih berjalan hingga sekarang adalah dari Pesantren Masyarakat (Pesma) Merapi-Merbabu. Pesma ini masih dalam proses pembangunan. Ketika itu, kami mengunjungi bangunan yang pengerjaannya tinggal 50 persen. Bangunan ini tampak didesain indah, kokoh, dan megah. “Insya Allah, tiga bulan lagi selesai,” kata Muhammad Fanni Rahman, Koordinator Pesma kepada Suara Hidayatullah.
Ada banyak pekerja yang menyelesaikan proyek yang bernilai miliaran rupiah itu. Di antara puluhan orang itu, ada lima orang ibu-ibu yang ikut bekerja. Semuanya memakai jilbab dan berbadan kuat.
Pesma digagas oleh Relawan Masjid Indonesia, di antaranya adalah Muhammad Fanni Rahman, Kang Puji, Salim A Fillah, Suwahya Tomme Djanto, Mahroji, dan beberapa orang lainnya. Rencananya, tempat ini bakal menjadi basis pengkaderan dai yang akan ditugaskan ke seluruh dusun di Wonolelo. Gedung ini menampung 50 orang.
Di Wonolelo, umat Islam tergolong mayoritas. Sayangnya, yang benar-benar menjalankan Islam dengan benar tak begitu banyak. Mereka lebih banyak Muslim abangan dan kejawen. Selain itu, Kristenisasi juga kuat.
Dinamakan Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu karena terletak di lereng yang diapit dua gunung. Di sebelah utara Gunung Merapi dan di sebelah selatan Gunung Merbabu. Tak pelak, pemandangan di sekitar tempat ini sangat memanjakan mata. Dua gunung itu tampak menjulang tinggi dan indah. Pas untuk tempat belajar al-Qur`an.
TK Al-Aqhsa
Ada yang mencuri perhatian kala menelusuri Dusun Windu Sajan. Di atas gunung ternyata ada karya Muslim Palestina. Karya itu berupa TK yang diberi nama TK Al-Aqsha. Gedung TK ini tidak begitu luas. Hanya terdiri dari tiga ruangan: satu ruangan guru yang ukurannya 2 x 2 meter dan kelas yang disekat dengan triplek.
Tak begitu besar memang. Namun, sekolah ini adalah bantuan dari warga Muslim Palestina. Mereka menyumbangkan uang sebesar Rp 20 juta untuk warga yang saat itu terkena musibah erupsi Merapi. Ada dua TK Al-Aqsha di sini. Pertama di Dusun Windu Sajan dan satunya lagi di Dusun Surodadi.
“Ini bukti kalau umat Islam Palestina memiliki ikatan aqidah dengan umat Islam Indonesia, bahkan di pelosok Windu Sajan. Meski jaraknya jauh dan mereka sedang dibombardir Israel, namun mereka masih mau menyisihkan hartanya untuk Muslim Indonesia,” ujar lelaki yang akrab disapa Djanto.
Jumlah siswa TK Al-Aqsha sebanyak 27 anak. Belum lagi ditambah santri Taman Pendidikan Al-Quran yang mengaji selepas zuhur, jumlahnya sekitar 100 orang.
Selepas belajar, giliran wali murid diberi siraman ruhani oleh Ustadz Kuncoro, dai asal Jogja. Ceramahnya yang ringan dan segar membuat para ibu betah mendengarkan. “Alhamdulillah, keberadaan TK Al-Aqsha bisa menjadi oase pendidikan agama bagi anak-anak,” tutur Ahsin Qalbaka, pengurus TK Al-Aqsha.
Tragedi 1970
Di antara 18 dusun di Wonolelo, Dusun Surodadi yang menyimpan kenangan pahit. Letak dusun ini lebih tinggi dari Windu Sajan dan melewati dua dusun lagi. Hawanya pun lebih dingin. Kenangan pahit itu terjadi pada 1970. Saat itu ada seorang eks tahanan Nusakambangan yang datang ke Surodadi bersama seorang pendeta. Ternyata mereka mendakwahkan agama Kristen ke penduduk setempat.
“Warga dikumpulkan di rumah Kadus (kepala dusun) lalu diceramahi agama Kristen,” kata Muhammad Sholeh, salah seorang ustadz di Surodadi.
Tidak saja diceramahi, warga juga diiming-imingi hal-hal yang menggiurkan. Jika masuk Kristen, warga yang melarat bisa kaya, yang sakit bisa sembuh, dan segala kesusahan bisa berubah. Mereka juga diberi bantuan logistik. Mendapat tawaran itu, warga yang masih dangkal imanya tergiur. Satu per satu mereka masuk Kristen. Dan, dalam waktu singkat, hampir seluruh warga Surodadi masuk Kristen.
“Saat itu tinggal tujuh kepala keluarga (KK) yang masih tersisa. Selebihnya masuk Kristen,” ujar lelaki yang dulu pernah ikut sekolah hari Minggu itu (sekolah Kristen).
Untung saja, saat itu Kiai Diarto asal Wonolelo gerah dan mengajak warga untuk kembali memeluk Islam. Namun tidak mudah mengembalikan mereka. Kiai Diarto pun harus berlomba dengan orang Kristen. Dengan sabar dan dibantu Kiai Rahmat Supriyadi, lambat laun warga tersadar. Mereka terenyuh dengan dakwah dua kiai tersebut dan kemudian kembali ke Islam. Dalam tempo sepuluh tahun (1970-1980) keduanya, dengan izin Allah bisa mengembalikan warga ke Islam. Itu pun tidak semuanya.
Dari 64 KK atau sekitar 225 warga, kini kira-kira 60 persennya kembali Muslim. Selebihnya masih Kristen. “Boleh dibilang di sini warganya dari Islam ke Kristen lalu ke Islam lagi. Semoga tidak kembali lagi ke Kristen,” harap Sholeh.
Diakui Sholeh, tidak mudah untuk mengembalikan 40 persen lainnya ke Islam. Sebab, agama yang mereka anut sudah mulai mengakar kuat. Hinggi kini, Sholeh dan beberapa ustadz lainnya berusaha menjaga aqidah yang telah terselamatkan sambil mengajak yang lain.
Sementara itu, menurut Fani, aqidah warga Desa Wonolelo harus diselamatkan. Apalagi, katanya, dari pihak Kristen mengagendakan satu dusun satu gereja dan satu pendeta. Karena itu, ia berharap, Pesma Merapi-Merbabu bisa segera terealisasi dan menyuplai tenaga dai ke berbagai dusun. Kini, mereka sedang berjibaku mendakwahkan Islam agar tetap terpancar di Wonolelo yang elok.* Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah, JANUARI 2013
Matahari baru saja sepenggal kala Kijang Innova biru tua itu melaju kencang. Jalan sepanjang Jogjakarta-Magelang tampak cukup padat oleh lalu-lalang kendaraan. Pak Djanto dengan lihai memacu mobilnya dengan cepat. Pandangannya fokus ke depan sambil sesekali melirik spion kiri dan kanan. Terkadang ia harus zig-zag dan menyalip mobil di depannya.
Setelah 1 jam perjalanan kami tiba di dataran tinggi. Medan pun berubah. Jalan menanjak dan berkelok-kelok. Sesekali berpapasan dengan mobil pick up yang membawa hasil pertanian berupa kol, sawi, dan cabe.
Alam semakin menunjukkan kemolekannya ketika semakin ke atas. Kami melewati jalan sempit yang di samping kirinya jurang dengan kemiringan sekitar 40-70 derajat, yang telah disulap menjadi sawah. Setelah 2 jam kami tiba di Dusun Windu Sajan, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ketika keluar kendaraan, udara sejuk langsung menyergap kami.
Beberapa warga yang sedang asyik menyeruput kopi di warung angkringan langsung berhambur dan menyalami kami. “Assalamu’alaikum…Saking pundi, Pak?” kata salah seorang mereka dengan ramah. Warga Windu Sajan terkenal ramah. Mereka selalu menyapa dan menjabat tangan tamu yang datang. Karena itu, siapa pun yang datang ke tempat ini akan merasa nyaman.
Ketika erupsi Merapi 2010, Desa Wonolelo yang memiliki 18 dusun ini ikut tersapu wedus gembel. Satu-satunya jembatan menuju Dusun Windu ambrol diterjang lahar dingin. Namun, kini telah dibangun lagi dan hanya untuk kendaraan roda dua. Batu sungai dan pasir masih bertumpuk-tumpuk. Efek parah erupsi adalah hasil panen yang gagal. Tidak hanya itu, rumah-rumah penduduk juga sempat disiram debu.
Basis Dai
Salah satu bantuan yang masih berjalan hingga sekarang adalah dari Pesantren Masyarakat (Pesma) Merapi-Merbabu. Pesma ini masih dalam proses pembangunan. Ketika itu, kami mengunjungi bangunan yang pengerjaannya tinggal 50 persen. Bangunan ini tampak didesain indah, kokoh, dan megah. “Insya Allah, tiga bulan lagi selesai,” kata Muhammad Fanni Rahman, Koordinator Pesma kepada Suara Hidayatullah.
Ada banyak pekerja yang menyelesaikan proyek yang bernilai miliaran rupiah itu. Di antara puluhan orang itu, ada lima orang ibu-ibu yang ikut bekerja. Semuanya memakai jilbab dan berbadan kuat.
Pesma digagas oleh Relawan Masjid Indonesia, di antaranya adalah Muhammad Fanni Rahman, Kang Puji, Salim A Fillah, Suwahya Tomme Djanto, Mahroji, dan beberapa orang lainnya. Rencananya, tempat ini bakal menjadi basis pengkaderan dai yang akan ditugaskan ke seluruh dusun di Wonolelo. Gedung ini menampung 50 orang.
Di Wonolelo, umat Islam tergolong mayoritas. Sayangnya, yang benar-benar menjalankan Islam dengan benar tak begitu banyak. Mereka lebih banyak Muslim abangan dan kejawen. Selain itu, Kristenisasi juga kuat.
Dinamakan Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu karena terletak di lereng yang diapit dua gunung. Di sebelah utara Gunung Merapi dan di sebelah selatan Gunung Merbabu. Tak pelak, pemandangan di sekitar tempat ini sangat memanjakan mata. Dua gunung itu tampak menjulang tinggi dan indah. Pas untuk tempat belajar al-Qur`an.
TK Al-Aqhsa
Ada yang mencuri perhatian kala menelusuri Dusun Windu Sajan. Di atas gunung ternyata ada karya Muslim Palestina. Karya itu berupa TK yang diberi nama TK Al-Aqsha. Gedung TK ini tidak begitu luas. Hanya terdiri dari tiga ruangan: satu ruangan guru yang ukurannya 2 x 2 meter dan kelas yang disekat dengan triplek.
Tak begitu besar memang. Namun, sekolah ini adalah bantuan dari warga Muslim Palestina. Mereka menyumbangkan uang sebesar Rp 20 juta untuk warga yang saat itu terkena musibah erupsi Merapi. Ada dua TK Al-Aqsha di sini. Pertama di Dusun Windu Sajan dan satunya lagi di Dusun Surodadi.
“Ini bukti kalau umat Islam Palestina memiliki ikatan aqidah dengan umat Islam Indonesia, bahkan di pelosok Windu Sajan. Meski jaraknya jauh dan mereka sedang dibombardir Israel, namun mereka masih mau menyisihkan hartanya untuk Muslim Indonesia,” ujar lelaki yang akrab disapa Djanto.
Jumlah siswa TK Al-Aqsha sebanyak 27 anak. Belum lagi ditambah santri Taman Pendidikan Al-Quran yang mengaji selepas zuhur, jumlahnya sekitar 100 orang.
Selepas belajar, giliran wali murid diberi siraman ruhani oleh Ustadz Kuncoro, dai asal Jogja. Ceramahnya yang ringan dan segar membuat para ibu betah mendengarkan. “Alhamdulillah, keberadaan TK Al-Aqsha bisa menjadi oase pendidikan agama bagi anak-anak,” tutur Ahsin Qalbaka, pengurus TK Al-Aqsha.
Tragedi 1970
Di antara 18 dusun di Wonolelo, Dusun Surodadi yang menyimpan kenangan pahit. Letak dusun ini lebih tinggi dari Windu Sajan dan melewati dua dusun lagi. Hawanya pun lebih dingin. Kenangan pahit itu terjadi pada 1970. Saat itu ada seorang eks tahanan Nusakambangan yang datang ke Surodadi bersama seorang pendeta. Ternyata mereka mendakwahkan agama Kristen ke penduduk setempat.
“Warga dikumpulkan di rumah Kadus (kepala dusun) lalu diceramahi agama Kristen,” kata Muhammad Sholeh, salah seorang ustadz di Surodadi.
Tidak saja diceramahi, warga juga diiming-imingi hal-hal yang menggiurkan. Jika masuk Kristen, warga yang melarat bisa kaya, yang sakit bisa sembuh, dan segala kesusahan bisa berubah. Mereka juga diberi bantuan logistik. Mendapat tawaran itu, warga yang masih dangkal imanya tergiur. Satu per satu mereka masuk Kristen. Dan, dalam waktu singkat, hampir seluruh warga Surodadi masuk Kristen.
“Saat itu tinggal tujuh kepala keluarga (KK) yang masih tersisa. Selebihnya masuk Kristen,” ujar lelaki yang dulu pernah ikut sekolah hari Minggu itu (sekolah Kristen).
Untung saja, saat itu Kiai Diarto asal Wonolelo gerah dan mengajak warga untuk kembali memeluk Islam. Namun tidak mudah mengembalikan mereka. Kiai Diarto pun harus berlomba dengan orang Kristen. Dengan sabar dan dibantu Kiai Rahmat Supriyadi, lambat laun warga tersadar. Mereka terenyuh dengan dakwah dua kiai tersebut dan kemudian kembali ke Islam. Dalam tempo sepuluh tahun (1970-1980) keduanya, dengan izin Allah bisa mengembalikan warga ke Islam. Itu pun tidak semuanya.
Dari 64 KK atau sekitar 225 warga, kini kira-kira 60 persennya kembali Muslim. Selebihnya masih Kristen. “Boleh dibilang di sini warganya dari Islam ke Kristen lalu ke Islam lagi. Semoga tidak kembali lagi ke Kristen,” harap Sholeh.
Diakui Sholeh, tidak mudah untuk mengembalikan 40 persen lainnya ke Islam. Sebab, agama yang mereka anut sudah mulai mengakar kuat. Hinggi kini, Sholeh dan beberapa ustadz lainnya berusaha menjaga aqidah yang telah terselamatkan sambil mengajak yang lain.
Sementara itu, menurut Fani, aqidah warga Desa Wonolelo harus diselamatkan. Apalagi, katanya, dari pihak Kristen mengagendakan satu dusun satu gereja dan satu pendeta. Karena itu, ia berharap, Pesma Merapi-Merbabu bisa segera terealisasi dan menyuplai tenaga dai ke berbagai dusun. Kini, mereka sedang berjibaku mendakwahkan Islam agar tetap terpancar di Wonolelo yang elok.* Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah, JANUARI 2013
Komentar