Salut untuk Aceh!

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (Al-Isra’ [17]: 32)
Usai shalat Zuhur di Meulaboh, Aceh, pada 12 Desember 2012 lalu, ratusan orang berkumpul di halaman Masjid Baitul Makmur. Mereka menyaksikan pemandangan yang belum pernah ada di daerah lain: pencambukan 16 orang pelanggar syariat di daerah itu.
Salah satu jenis pelanggaran tersebut adalah ber-khalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram). Ini sesuai dengan Qanun Syari’at Islam Provinsi Aceh nomor 14 tahun 2003 dan mengacu pada fiqh Syafi’iyah.
Sebagian besar masyarakat negara ini, bahkan juga aparat pemerintah dan wakil-wakil rakyat, mungkin menganggap hukuman seperti ini tidak manusiawi, atau—dalam bahasa yang lebih popular—melanggar hak asasi manusia.
Mengapa? Sebab, masyarakat di negara ini sudah terlanjur menganggap ber-khalwat adalah hal biasa. Coba simak sinetron-sinetron yang disuguhkan stasiun televisi setiap saat, semua menawarkan praktik ber-khalwat.
Tak heran bila sering kita dapati para orangtua yang menganggap wajar bila anak gadisnya pergi bersama lelaki lain yang bukan mahramnya untuk menghabiskan malam Minggu di luar rumah. Na’udzubillahi min dzalik!

Bahkan, jangankan sekadar berdua-duaan dan melakukan perbuatan mesum di tempat sepi, melakukan hubungan zina sekalipun, masih dianggap “wajar” bila dilakukan tanpa paksaan.
Coba simak berita-berita penggerebekan rumah-rumah bordir yang menghias halaman-halaman koran ibukota. Para pelaku zina tidak pernah dihukum. Mereka hanya dibina beberapa hari saja di panti sosial, lalu dilepas kembali.
Beberapa tahun lalu kita sempat dihebohkan film menjijikkan sepasang selebritis muda. Sang selebritis laki-laki memang dibui akibat peristiwa itu, namun bukan karena perbuatan zinanya, melainkan karena ia telah menyebarkan film tersebut ke orang lain. Adapun perbuatan zina yang ia lakukan dianggap wajar karena atas dasar suka sama suka. Astaghfirullahal adzim.
Peristiwa pada pertengahan Desember 2012 lalu adalah bukti lain. Koran-koran ramai memberitakan terbongkarnya sindikat praktik prostitusi lewat dunia internet.
Tapi lagi-lagi polisi cuma menangkap sang mucikarinya. Sedangkan para pelaku zina –dalam sepekan sang mucikari mengaku bisa menyediakan 5 sampai 6 perempuan—tidak dikenakan sanksi apa pun. Jangankan di-rajam (bagi pezina yang sudah menikah), dicambuk pun tidak!
Nah, mari kita tengok negara Eropa yang konon diidolakan sebagai negara yang amat memuja hak asasi manusia. Dikhabarkan, sehari sebelum pelaksanaan hukum cambuk di Meulaboh, Aceh, tepatnya pada 11 Desember 2012, sekitar 200 perempuan yang tergabung dalam Lobi Wanita Eropa (EWL) mendesak agar Uni Eropa segera menganggap prostitusi sebagai tindak kriminal. EWL sendiri merupakan payung terbesar kelompok-kelompok hak azazi manusia (HAM) perempuan dalam blok yang beranggotakan 27 negara.
Bila para perempuan di negara-negara pemuja seks bebas sudah berteriak menentang aksi perzinaan karena melanggar HAM meskipun atas dasar suka sama suka, bagaimana dengan kita? Masihkah kita menyalahkan hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku khalwat di Aceh? Wallahu ‘alam.* SUARA HIDAYATULLAH, JANUARI 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu