Mantan Bos BP Migas: Saat Kurtubi di Pertamina Minyak Indonesia Dikuras

Rista Rama Dhany - detikfinance
Rabu, 14/11/2012 20:19 WIB
Jakarta - Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R. Priyono mengungkapkan sulitnya meningkatkan produksi minyak saat ini. Menurutnya karena pada tahun 1997, ketika Kurtubi (kini pengamat) di Pertamina produksi minyak dikuras abis dan banyak diekspor.

Priyono mengungkapkan hasilnya saat ini produksi minyak sulit digenjot karena hanya tinggal sisanya saja.

"Kenapa produksi sekarang tidak banyak, karena cadangannya tinggal sisanya saja, itu karena pada zamannya Pak Kurtubi masih di Pertamina pada Tahun 1997, minyak kita dikuras," kata Priyono ketika ditemui di Wisma Mulia, Rabu (14/11/2012).

Diungkapkan Priyono, pada saat itu produksi minyak Indonesia memang mencapai 1,6 juta barel per hari.

"Memang produksi kita pada zamannya Pak Kurtubi di Pertamina mencapai 1,6 juta barel per hari, kita sampai ekspor ke luar negeri, kenapa sampai ekspor itu karena kebutuhan kita untuk dalam negeri hanya 400.000 barel," ucap Priyono.

Kondisinya saat ini walau produksi minyak Indonesia hanya 900.000 barel namun yang diambil oleh Pertamina hanya 500.000 barel per hari, sementara sisanya 400.000 barel per hari mau diserap kemana.

"Jadi pertanyaan saya sendainya saya peroduksi 1,4 juta barel tetap saja diambil 500.000, Jadi ya itulah PR kita bersama. Jadi itu tak bisa diserap Pertamina. Jadi tak ada hubungan lifting (produksi) dengan BBM domestik. Korelasi nggak ada," tandas Priyono.

Seperti diketahui Kurtubi salah satu pihak yang mendukung agar BP Migas dibubarkan. BP Migas akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (13/11/12) karena inkonstitusional.

Dalam keterangan tertulisnya, mantan petinggi Pertamina ini menilai kehadiran BP Migas telah menggerogoti kedaulatan negara. Seperti diketahui, lanjut dia, BP tidak punya aset. Dengan demikian aset BP Migas adalah aset pemerintah.

Di sisi lain, BP Migas mewakili Pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing dalam pola business to government (B to G). Artinya, kedudukan pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Jika terjadi sengketa hukum, bisa membahayakan negara.

Berbeda dengan UU 8/1971 yang mengatur Pertamina yang menandatangani kontrak dengan perusahaan asing dalam pola business to business (B to B). Menurut UU, aset Pertamina jelas terpisah dengan aset Pemerintah. Dengan demikian, pemerintah berada di atas kontrak sehingga kedaulatan negara tetap terjaga.

“UU Migas mengarah untuk melegalkan penguasaan kekayaan migas nasional oleh perusahaan asing/swasta. Hal ini tampak pada pasal 12 ayat 3, yang menyatakan Kuasa Pertambangan oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing/swasta. Sementara itu, implementasi kepemilikan atas sumber daya migas alam (SDA) migas sengaja dikaburkan dengan tidak adanya pihak yang membukukannya karena BP Migas tidak punya neraca. Pendeknya, dengan kehadiran BP Migas, tata kelola migas Indonesia menjadi yang paling buruk di Asia Oceania. Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BP Migas melonjak 10 kali lipat, merugikan negara dan melanggar Konstitusi,” papar Kurtubi.


(rrd/hen) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu