Seberapa Sosialkah Bos Anda?

Penulis: Goutama Bachtiar - detikinet
Senin, 05/11/2012 09:03 WIB

Ilustrasi (Ist.)
Jakarta - Beberapa minggu silam, wacana mengenai perlunya Chief Executive Officer (CEO) perusahaan berkicau di Twitterland semakin menghangat. Terutama bagi pemimpin puncak perusahaan Asia. 

Yang perlu dicermati adalah alasan perlunya kehadiran mereka di situs micro blog tersebut, baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi, maupun profesional, serta dampaknya terhadap brand dan perusahaan, secara langsung dan tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Mengapa di Asia? Karena sebagai kawasan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, diiringi dengan melambatnya perekonomian Eropa maupun masih belum pulihnya Amerika Serikat dari krisis moneter, mengakibatkan perhatian dunia tertuju pada perusahaan di benua ini. 

Berbanding lurus dengan hal tersebut, penggunaan Twitter sebagai salah satu jejaring sosial, menjadi semakin meluas dan intensif. Jumlah pengguna individual semakin meningkat tajam, begitu juga dengan semakin banyaknya brand/perusahaan yang terjun ke hingar bingar Twitterverse.

Selain berbagai jenis pengguna di atas, yang menggelitik adalah dimanakah para eksekutif puncak tersebut berada? Jika berbicara mengenai perusahaan Paman Sam, mayoritas dari mereka sudah memiliki akun serta aktif menggunakan media ini. 

Dalam kapasitasnya sebagai pribadi, biasanya mereka akan mencantumkan klausul pada bagian bio bahwa twit mereka merupakan opini pribadi, tidak mewakili perusahaan. Sesuatu yang sering kita lihat, bukan? 


(Kredit: GoldMedal)

Berpijak pada pernyataan di atas, apabila informasi tersebut tidak ada, maka secara implisit akun mewakili mereka dalam kapasitasnya sebagai eksekutif perusahaan. Cara penggunaannya bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. CEO Zappos Tony Hsieh, misalnya, dengan akun perusahaannya @zappos, mencantumkan no telepon, situs web dan email penting di landing page.

Sementara itu Sir Richard Branson Virgin Group, Guy Kawasaki dan Pete Cashmore (CEO Alltop dan CEO Mashable), Executive Chairman Google Eric Schmidt, Phil Libin dari Evernote, bos Forrester Research George Colony dan tentunya pendiri Twitter Jack Dorsey serta Jeffrey Immelt pemimpin puncak General Electric -- yang baru bergabung September lalu -- merupakan figur yang sangat aktif di kancah jejaring micro blog ini.

Tanpa sungkan, mereka pun rajin memberikan update mengenai layanan terbaru, menjawab pertanyaan pengguna seputar produk mereka, sampai dengan mendekatkan diri kepada para konsumen.

Urgensi dan Tantangan

Para eksekutif secara tidak langsung dituntut untuk lebih dekat, jika tidak lebih intim, dan lebih inspiratif kepada para pelanggan maupun konsumen perusahaannya. Namun di sisi lain keberadaan mereka di media sosial mengusung risiko cukup tinggi. 

Begitu tinggi dan cepatnya permintaan dan kebutuhan akan informasi, yang apabila tanpa adanya validasi dan pengawasan ketat, akan menyebabkan terjadinya hal yang tidak diinginkan, mulai dari bocornya rahasia dapur perusahaan, marahnya konsumen sampai ke tuntutan hukum.

Di sisi lain, para eksekutif ini sangatlah teramat sibuk bergulat dengan pekerjaannya, sehingga kemungkinan meluangkan waktu untuk mengirimkan twit, membalas pesan, me-retweet sangat kecil. 

Hal ini diperparah dengan anggapan sebagian besar dari mereka bahwa tidak adanya atau minimnya hubungan langsung maupun tidak langsung antara jumlah pengikut dengan aktivitas penjualan.

Di Amerika Serikat & Asia Pasifik

Kenyataannya, hanya 30 persen CEO perusahaan di dalam daftar Fortune 500 memiliki akun media sosial populer (Twitter, Facebook, LinkedIn, Pinterest dan Google+), sebagaimana dilansir oleh laporan CEO.com. 

Dan di antara mereka, yang menggunakan Twitter dan Facebook dengan namanya sendiri, berada di angka 4 persen dan 8 persen, jauh dibawah prosentase warganya, yaitu 34 persen dan 50 persen.

Survei MEC atas kawasan Asia Pasifik menyatakan eksekutif puncak mulai memberdayakan penggunaan teknologi untuk mengumpulkan informasi dan mengelola waktu kerja, serta cenderung untuk terjun langsung dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan mengurangi peran dari para asisten pribadi. 

Mereka lebih setuju menggunakan media sosial di dalam organisasi untuk mendengarkan saran, gagasan dan usulan dari bawahan. Sementara pemanfaatan di luar organisasi sebisa mungkin dihindari, karena dianggap akan menghilangkan mekanisme kontrol dan eskalasi yang sudah ada.

Cara Terbaik?

Secara relatif, pada dasarnya belum ada cara yang lebih cost-effective dalam menjangkau para pelanggan maupun karyawan perusahaan (pelanggan internal) selain jejaring sosial.

Salah satu solusi yang bisa digunakan adalah bekerja sama atau meminta bantuan dari Direktur Komunikasi/Public Relations perusahaan dalam rangka mendesain cetak biru dan strategi media sosial organisasi, termasuk merancang, membalas serta validasi twit yang akan diposting. 

Alternatif lainnya adalah gunakan jasa ghostwriting, berkoordinasi dan berkonsultasi dengan pihak perusahaan, untuk menjalankan aktivitas di atas.



Goutama BachtiarTentang penulis: Praktisi dan konsultan teknologi informasi, trainer, pendidik, penulis, pengarang buku serta courseware developer. Saat ini merupakan Kontributor Senior di e27, kontributor tetap di TechWireAsia dan Forbes Indonesia. Dapat dihubungi melalui Twitter: @goudotmobi dan e-mail: goutama@gmail.com

Komentar

Anonim mengatakan…
Terima kasih sudah memuat artikel ini di blog anda.

Cheers,
@goudotmobi
goudotmobi.wordpress.com

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu