Bursa Pasal ala Senayan

 
RESTORAN Poke Sushi di Hotel Crowne Plaza Jakarta menjadi ruang sidang anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada suatu malam, akhir Maret lalu. Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Mata Uang tengah bekerja di sana. Agendanya memutuskan dua pasal penting dalam rancangan, yaitu lembaga apa yang akan diberi tugas membeli kertas dan mencetak uang.
Pukul 19.00, hampir semua dari 28 anggota panitia kerja telah hadir. Mereka berbincang sambil menyantap kudapan di atas meja. Ketika itu, lima orang berpindah ke ruangan yang lebih kecil. Mereka adalah ketua panitia kerja Achsanul Qosasi dan para anggotanya, yaitu Mustofa Assegaf (Partai Persatuan Pembangunan), Edison Betaubun (Partai Golkar), I Gusti Agung Rai Wirajaya (PDI Perjuangan), dan Muhammad Hatta (Partai Amanat Nasional). Di sana sudah menunggu Direktur Utama Perum Peruri Junino Jahja dan sekretaris perusahaan, Heru Budi.
Achsanul membuka pembicaraan. Menurut dia, lima anggota Dewan itu mewakili mayoritas fraksi anggota panitia kerja. "Teman dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tidak diajak karena beda aliran," kata politikus Partai Demokrat ini, seperti dikutip sumber Tempo yang mengetahui pertemuan itu.
Dua pekan sebelum mengundang Junino ke Hotel Crowne, anggota panitia kerja mengunjungi percetakan uang Peruri di Karawang, Jawa Barat. Dari situlah muncul permintaan anggota Dewan untuk menggelar rapat dengar pendapat, membahas kesiapan Peruri jika pada rancangan undang-undang itu wewenang pencetakan dan pembelian kertas uang diberikan kepada perusahaan ini.
Pada pertemuan malam itu, menurut sumber yang sama, Achsanul panjang-lebar menjelaskan manfaat yang akan didapat Junino jika dua pasal krusial diputuskan menjadi kewenangan -Pe-ruri. "Sebanyak 28 anggota panitia kerja menunggu kabar dari kami sebelum memutuskan malam ini," katanya, ditirukan sang sumber.
Gusti Agung membenarkan Achsanul. Dia mengatakan fraksinya akan mendukung penuh jika Junino menginginkan dua pasal itu berpihak ke -Peruri. "Kami ini oposisi, tapi untuk Peruri kami koalisi," ujarnya. Kuat diduga, para legislator tengah menyiapkan strategi untuk menawarkan "harga" dua pasal itu kepada Peruri. Ada uang ada barang.
Tidak banyak yang disampaikan Junino saat itu. Menurut sumber tadi, Junino mengatakan Peruri selama ini hanya melakukan pencetakan uang. Sedangkan pembelian kertas uang sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Indonesia. "Tapi, kalau ditugasi undang-undang, Peruri siap-siap saja," katanya.
Setengah jam mengobrol, pertemuan tiba-tiba tegang. Mustofa Assegaf, yang rupanya belum paham latar belakang Junino, melontarkan pertanyaan basa-basi: apa pekerjaan Junino sebelum menjadi Direktur Utama Perum Peruri. Junino menjawab, "Saya sebelumnya Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Pak."
Lima anggota Dewan tersentak. Dialog yang semula santai diselingi lelucon tiba-tiba kaku. Achsanul kemudian minta izin keluar dari ruangan. Edison dan Mustofa menyusul. Gusti Agung dan Hatta memilih bertahan mene-mani Junino makan malam. Tidak ada lagi pembicaraan soal dua pasal dalam rancangan undang-undang.
Sumber lain mengisahkan, panitia kerja juga mengundang pejabat dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Mereka diajak membicarakan dua pasal yang mengatur pembelian kertas dan pencetakan uang itu. Para anggota Dewan tak sadar, mereka dalam pantauan alat-alat canggih Komisi Pemberantasan Korupsi.
Semua pembicaraan malam itu terpantau penyidik. Para petugas komisi antikorupsi mencium keanehan dalam pertemuan-pertemuan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Mata Uang itu. Terutama setelah sejumlah anggota panitia melawat ke pelbagai negara-di antaranya Swiss-untuk "studi banding". Penyelidik curiga undangan panitia kepada para pejabat keuangan itu dimanfaatkan untuk transaksi gelap.
Setelah percakapan dengan "mantan orang KPK" itu berlalu, ajakan DPR untuk "bernegosiasi" dengan Peruri berhenti. Menurut sumber, operasi penyelidik malam itu akhirnya dibubarkan. "Padahal, kalau saja terjadi transaksi, penyelidik akan langsung bergerak," ujarnya.
Dimintai komentar soal informasi pertemuan di Hotel Crowne, Achsanul semula membantah. Tapi ia meralat setelah diberi tahu bahwa para kolega sesama peserta rapat membenarkan soal itu. "Tunggu, tunggu. Oh iya, ada itu," katanya. Namun ia membantah berupaya menggiring Peruri menyerahkan sejumlah dana. "Ah gila. Tidak ada itu," katanya.
Edison Betaubun membenarkan panitia kerja mengadakan rapat di Hotel Crowne pada 21 Maret. Tapi ia membantah ada pertemuan khusus dengan Junino. Dia juga mengaku tidak kenal dengan bos Peruri itu. "Saya hanya diajak seorang teman masuk sebuah ruangan dan minum segelas air," katanya. "Setelah itu, saya keluar."
Muhammad Hatta membenarkan adanya pertemuan khusus. Menurut dia, lima anggota panitia kerja ingin mendengar langsung soal kesiapan -Peruri membeli kertas dan mencetak uang. Ia menyanggah ada upaya mengiring permintaan uang kepada Peruri. Ditanya tentang pertemuan yang bubar setelah mendengar Junino merupakan mantan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi, ia mengatakan itu tidak berkaitan. "Memang rapat akan dimulai," ujarnya.
Gusti Agung dan Mustofa hingga akhir pekan lalu belum bisa dimintai komentar. "Bapak sedang rapat," kata Darmawan, asisten Mustafa di DPR. Adapun Gusti Agung tidak menjawab panggilan telepon.
Junino Jahja tidak membantah adanya pertemuan itu. Tapi dia menolak menjelaskannya secara terperinci. "Soal detailnya, no comment," ujarnya. Adapun juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P., mengaku belum mendengar informasi ini.
TAWAR-menawar pasal dengan jaminan uang bukan barang baru di Senayan. Inilah sumber "mata pencarian" anggota Dewan yang nakal. Perkara korupsi dana Bank Indonesia yang menjebloskan sejumlah petinggi bank sentral, termasuk mantan Deputi Gubernur Aulia Pohan, merupakan bukti paling nyata adanya patgulipat anggota Dewan dan pejabat mitranya.
Awal 2003 merupakan masa krusial bagi Bank Indonesia. Audit keuangannya selalu berpredikat buruk: disclaimer. Soalnya, Bank Indonesia menanggung beban pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada krisis moneter 1997-1998 sebesar Rp 144,5 triliun. Sejak 2001, Bank Indonesia berusaha keras memindahkan beban itu ke pemerintah. Departemen Keuangan sebenarnya oke-oke saja, dengan syarat disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk memutuskan isu pelik ini, Senayan membentuk Panitia Kerja Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Pada awal Juli 2003, Dewan akhirnya mengetukkan palu: beban Bantuan Likuiditas boleh dialihkan ke pemerintah.
Ada satu lagi ancaman: pada November 2000, Dewan mulai membahas usul perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sejak awal, bank sentral mati-matian menghalangi amendemen itu. Ada sedikitnya dua pasal yang ditolak: pembentukan otoritas jasa keuangan untuk mengambil alih fungsi bank sentral di bidang pengawasan perbankan, dan pembentukan badan supervisi. Yang menarik, dalam pembahasan hampir semua pasal, posisi panitia kerja Dewan selalu di pihak Bank Indonesia. Suara Bank Indonesia dalam setiap sesi pembahasan pun begitu dominan. Rupanya, bank sentral telah menggelontorkan uang pelicin Rp 31,5 miliar untuk mengegolkan dua "misi" itu.
Seorang anggota Dewan periode 2004-2009 mengatakan inisiatif dagang pasal dalam rancangan undang-undang tidak selalu datang dari politikus Senayan. Banyak pejabat kementerian atau lembaga berinisiatif demi mendapat keuntungan dari pasal-pasal itu. "Biasanya lobinya dibuat oleh pejabat eselon satu dengan pimpinan panitia kerja," ujarnya.
Didi Irawadi Syamsuddin, anggota Fraksi Partai Demokrat, mengatakan tidak semua anggota Dewan berperilaku buruk.
Setri YasraJUNINO JAHJA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Wako Ismet Amzis Berminantu