Ya Supir, Ya Habib...
 
Sudut pandang kota Madinah yang bersih (foto: Dinul Haq/hidayatullah.com)
 
Kamis, 27 Desember 2012 
MENEMPUH studi di negeri orang selalu punya cerita tersendiri. Baru sebulan lebih kuliah di Universitas Islam Madinah (UIM), Saudi Arabia, sudah banyak pengalaman dan pelajaran menarik yang saya temui di Kota Nabi ini.
Seperti pada Ahad, lalu. Malam itu selepas Maghrib waktu setempat, saya dan Lukman Hakim, kawan saya yang sama-sama dari Indonesia ketinggalan Bis Kampus. Bis ini biasanya selalu membawa teman-teman mahasiswa menuju kampus UIM dari apartemen kami di Jalan Abu Dzar al-Ghifari, Madinah.
Berhubung akan ada muktamar penting ba'da Isya, kami memutuskan untuk menggunakan jasa transportasi umum (Naql) menuju Kampus UIM. Naql sebenarnya mobil pribadi yang kerap digunakan masyarakat untuk angkutan umum, kebanyakan model sedan dan 4WD kalau di Indonesia.
Harga sewanya pun masih bisa dinego. Beda dengan “Ujroh” yang harganya sudah ditetapkan. Naql lebih banyak ketimbang Ujroh.
Di dalam Naql, kami bertemu dengan sopirnya yang sangat kuat bersholawat dan menyebutkanAsmaul Husna. Penampilan supir itu sederhana, syarat akan ketawadduan dan kebijaksanaan.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba supir membawa kami ke jalur yang belum pernah kami lewati untuk menuju kampus. Karena merasa nggak enak dan khawatir, saya memberi kode kepada supir kalau jalan ini salah. Supir tersenyum, mengucapkan kalimah toyyibah, lalu menjelaskan dengan santun.
"Kita mengisi bensin dulu di depan, kemudian balik arah menuju Jami'ah Islamiyah," ujarnya.
Alhamdulillah... Tenang rasanya perasaan yang ini. Kami terus berdoa kepada Allah Subhanahu wata'ala  untuk dijauhkan dari kejahatan makhluk-Nya.
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di Jalan Kholid bin Walid, jalan besar menuju kampus. Saya mencoba memecah kesunyian di antara kami bertiga dengan basa-basi ringan ala bangsa Arab. Ternyata supir tersebut sangat merespon dan bersholawat dan lebih banyak berdoa.
"Anta min Sumatro (kamu dari Sumatra)?" tanya supir.
"Laa! Ana min Borneo (tidak! Saya dari Kalimantan)," jawab saya singkat.
Karena penasaran, saya balik bertanya, "Hal zurta Indunisya (apakah Anda sudah mengunjungi Indonesia)?"
"Wallahi lamma! Lakin, insya Allah ya Kariim ya Ghoni," jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Wa hal anta min sukkani al-Madinah (Anda tinggal disini)?" usut saya.
"Na'am! Walhamdulillah,­ ni'ma ad-daar wallah (Ya! Dan alhamdulillah, demi Allah ini adalah tempat yang baik)," tambah supir.
"Minal Anshor (Anda bagian dari kaum Anshor yang menolong Nabi di kala hijrah)?" tanya saya lagi. Pertanyaan ini merupakan kemuliaan bagi penduduk Madinah.
"Ana min Aali al-Bayt (Saya dari keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wassalam)," jawab supir santun, diiringi sholawat syahdu setelahnya.
“Habib” yang tawadhu', batin saya dalam hati. Saya dan Lukman saling berpandangan, terperanjat. Ini anggota rumah Nabi, ini keluarga Nabi, batin kami.
"Masya Allah, Tabarakallah... Hayyakallah ya Syaikhona," doa saya untuknya.
"Apakah Anda mengetahui nasab Anda sampai Rasulullah SAW?" tanya Lukman meramaikan suasana malam itu.
"Ya! Tentu. Alhamdulillah,"­ jawabnya santun, lagi-lagi diiringi sholawat khasnya, sembari tetap fokus menyetir kendaraan.
Terbayang di pikiran saya akan hak-hak dia atas kami dari ihtirom (penghormatan) dan takrim (memuliakan). Sebagaimana terbayang jelas gambaran penduduk Indonesia yang sangat menghormati Keluarga Nabi, sampai menyematkan gelar "Habib" kepada mereka yang jumlahnya tentu saja sangat banyak.
Membandingkan supir yang mengantarku malam ini, serasa ada perbedaan jauh dengan di Indonesia. Lalu terbayang sikap beberapa kaum muslimin Tanah Air yang ghuluw (berlebih-lebihan dalam beragama). Sangat kontras dengan penampilan "habib" Hamzah  ini.
Akhirnya, di belokan pertama Jalan Sulthonah saya ceritakan penghormatan masyarakat Indonesia kepada keturunan Nabi di Tanah Air. Mendengarnya, 'habib' ini beristighfar dan memberi nasihat agar penghormatan dilakukan secara wajar tanpa berlebihan.
"Tidak sepantasnya ghuluw. Cukuplah penghormatan kepada mereka sebagai saudara muslim. Nabi mengatakan, 'Saya Sayyid orang yang bertaqwa, walaupun ia hamba sahaya dari Negeri Habasyah.' Nasab tidak men-tazkiyah (mensucikan) seseorang..." pesannya pendek.
"Apakah mereka tidak membaca ayat Allah, 'Tidaklah Muhammad itu Bapak dari seseorang di antara kalian, akan tetapi dia adalah Rasulullah...'?" lanjut supir istimewa kami malam itu.
Menurutnya, semua manusia sama dihadapan Allah subhanahu wata'ala. Yang membedakan derajat manusia adalah ketaqwaan kepada-Nya.
Sampailah kemudian kami di pintu gerbang kampus UIM. Kami turun di depan gedung kuliah Fakultas Syari'ah.
"Bikam, Syeikh (berapa yang kami bayar)?" tanya saya memastikan kesepakatan awal di depan apartemen tadi.
"Asyaroh Riyal bass (cukup 10 riyal)," jawabnya dengan logat ammiyah yang khas.
"Afwan, syu ismik?" saya menanyakan namanya dengan ammiyah (Bahasa Arab pasaran) dasar untuk lebih mengakrabkan, diiringi tendangan ringan Lukman ke kaki saya.
"Ana Hamzah al-Jaelani. Syaikh Abdul Qadir Jaelani salah satu kakek saya," jawabnya.
"Hayyakallah ya Syeikh Hamzah, Ana Akhukum Muhammad Dinul Haq (semoga Allah memuliakanmu syaikh, saya saudara Anda)".
"Hayyakallah ya Indunisy," doa Syeikh Hamzah.
Kami pun berpisah dengan harapan bertemu kembali. Lukman lalu mengajak saya menuju kantin kampus sambil menunggu azan Isya’, dengan senyuman atas pengalaman malam ini.
"Luke, ada hikmahnya juga ketinggalan bis," celetuk saya, memanggil sapaan akrab Lukman.
"Hmm itu orang kalau di Indonesia pasti udah jadi Habib besar dan dipuji orang..." canda Lukman dengan logat khas Makassarnya.*/Muhammad Dinul Haqkontributor hidayatullah.com di Madinah


Red: Dija

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu