SBY: antara Boston dan Myanmar



AL WA'IE : Ada hal yang menarik yang perlu kita cermati saat terjadi ledakan bom di Boston Amerika Serikat baru-baru ini. Setidaknya tiga orang tewas dan 100 lainnya terluka. Beberapa di antaranya cedera serius saat dua ledakan terjadi di garis akhir Maraton Boston, Amerika.
Yang kita soroti adalah reaksi Presiden Indonesia SBY. Tidak lama setelah terjadi ledakan bom, SBY dalam tweeterresminya mengucapkan duka mendalam kepada Obama dan mendoakan para korban.
Hal yang patut kita pertanyakan, mengapa sikap yang sama tidak muncul ketika umat Islam mengalami penderitaan yang jauh lebih berat. Bukankah sejak bulan Maret hingga kini terjadi pembantaian ratusan Muslim di Myanmar?
Setelah Muslim Rohingya, kali ini umat Islam di Kota Meiktila yang terletak antara Mandalay dan Ibukota Naypitaw pada akhir Maret kemarin menjadi korban. Menurut versi pemerintah, korban yang terbunuh mencapai 50 orang dan sekitar 10 ribu orang harus mengungsi. Diperkirakan jumlah korban sebenarnya lebih dari itu.
Tentu, sebagai pihak minoritas, komunitas Muslim menderita lebih banyak. Lebih dari tiga perempat pengungsi adalah Muslim. Dilaporkan juga 13 masjid hangus dibakar. Umat Islam di sana hidup dalam ketakutan karena tidak ada yang menjamin serangan yang sama tidak terjadi pada mereka. Apalagi pihak keamanan Myanmar  bersikap memihak dan tidak berupaya untuk melindungi umat Islam. Pemerintah juga bekerjasama dengan para biksu Budha yang menjadi provokator untuk menyebarluaskan kebencian dan hasutan menyerang umat Islam.
Sebagaimana di Myanmar, para biksu Budha yang katanya welas asih, justru menjadi penggerak utama penyerangan umat Islam di Srilanka. Umat Islam di Srilanka diserang dengan tuduhan yang mengada-ada. Para biksu Budha menyerukan memboikot semua bisnis milik kaum Muslim, termasuk semua yang berbau Islam, seperti Muslimah yang mengenakan hijab. Para biksu juga menyerukan untuk mengusir umat Islam, menghancurkan masjid dan memaksa mereka untuk mengosongkan Masjid Kuragala.
Ironisnya,  tidak ada respon yang serius  dari SBY. Padahal dilihat dari jumlah korbannya jauh lebih besar. Sikap  tak acuh juga ditunjukkan oleh SBY ketika ribuan umat Islam dibunuh oleh pesawat  drone Amerika di Pakistan dan Afganistan; saat Gaza dibombardir; juga saat berbagai kezaliman lain menimpa umat Islam.
SBY sebenarnya tidak sendiri. Mayoritas para penguasa negeri Islam memang tidak begitu peduli terhadap kondisi umat Islam yang merupakan rakyatnya sendiri. Sebaliknya, para penguasa negeri Islam selalu berupaya keras mendapatkan simpati tuan besar mereka, seperti Amerika Serikat.
Pasca pengeboman Boston umat Islam di Amerika khawatir dipersalahkan. Haris Tarin yang mengepalai kelompok advokasi di Washington mengatakan, ada kekhawatiran besar di kalangan  warga Muslim di Amerika, bahwa begitu ada serangan teroris, warga Muslim-Amerika akan dituduh.
Obama sejak awal memang meminta rakyat Amerika menunggu hasil penyelidikan dan jangan gampang menyimpulkan. Namun, berbagai tweet maupun pernyataan di facebook kembali  menyerang dan menyudutkan umat Islam. Beberapa media masa  seperti New York Post, tidak lama setelah peristiwa itu, menyatakan polisi Boston telah menahan seseorang yang berkebangsaan Saudi.
Erik Rush, komentator yang kerap tampil di Fox News, tidak lama setelah ledakan terjadi dia menulis di Tweeter  “Mari kita tahan lebih banyak orang Saudi tanpa perlu diperiksa! “ Pengguna tweeter lain bertanya, “Apakah Anda telah menyalahkan semua Muslim ?” Segera dijawab oleh Rush, “Ya, mereka jahat. Mari kita bunuh mereka semua.”
Pasca Bom Boston, apalagi kalau kemudian pelakunya yang diduga berasal dari Chechnya dan beragama Islam terbukti, sikap anti Muslim di Amerika diduga akan makin menguat. Padahal pada tahun-tahun terakhir ini, terutama setelah serangan WTC, sikap anti Muslim di Amerika sudah makin menguat, baik diprovokasi oleh kelompok ultranasionalis ataupun beberapa pendeta.
Beberapa kejahatan di  New York  diduga bermotif kebencian rasial. Seorang imigran India di Amerika bernama Sunando Sen yang dikira Muslim didorong oleh seorang wanita. Ia lalu terjatuh ke jalur kereta bawah tanah di New York City dan tergilas hingga tewas oleh sebuah kereta yang lewat. Pelakunya, Erika Menendez,  mengaku membunuh Sen. Motifnya adalah keinginan untuk melakukan kekerasan terhadap umat Islam. Seorang pria lain ditikam beberapa kali di luar sebuah masjid oleh para penyerang yang berteriak, “Aku akan membunuhmu, Muslim!” sambil berulang menghujamkan pisau ke tubuh korbannya.
Sejalan dengan statistik nasional AS, kekerasan anti-Muslim meningkat hingga mendekati rekor tertinggi di Amerika. Tren ini terjadi bersamaan dengan gencarnya kampanye menentang pembangunan masjid serta dorongan dari para politisi dan tokoh media tentang adanya tuduhan bahwa Muslim-Amerika akan mengganti konstitusi AS dan menerapkan hukum Islam di negara itu.
Padahal perlu dicatat, dari daftar pengeboman besar yang terjadi di negara tersebut, sebagian besar pelakunya justru warga negara Amerika sendiri. Satu-satunya aksi besar yang dituding dilakukan oleh teroris dari luar Amerika adalah serangan 11 September 2001. Itu pun masih banyak pihak yang meragukan pelaku sebenarnya adalah al-Qaida.
Di Amerika sendiri tumbuh subur kelompok ekstrem dan rasis yang tidak segan-segan melakukan tindakan teror. Timothy McVeigh, pelaku pengeboman di Oklahoma City pada tahun 1995  adalah simpatisan David Koresh, pemimpin sebuah sekte Kristen yang menyempal yang disebut Cabang David (Branch Davidian) di Waco, Texas. Ribuan kaum milisi, misalnya, 19 April 2010, dikabarkan berkumpul di Virginia memperingati Pengeboman Oklahoma City. The Ku Klux Klan, kelompok kulit putih paling rasis yang sudah berusia ratusan tahun, kini mulai terdengar lagi suaranya. Di Tennessee, kelompok itu dikabarkan membuat daftar 88 orang kulit hitam—salah satunya Obama—yang akan dijadikan target untuk dibunuh.
Kembali ke sikap tidak peduli penguasa Muslim, faktor yang memperparah adalah pandangan nasionalisme yang mematikan nurani dan kepedulian. Sering muncul alasan, itu bukan urusan nasional kita, atau kita masih punya urusan dalam negeri yang belum terselesaikan, atau alasan lain yang dicari-cari. Padahal al-Quran telah menegaskan bahwa umat Islam merupakan umat yang satu (ummat[an] wahidah). Rasulullah saw. juga menggambarkan persaudaran umat Islam bagaikan satu tubuh. Bahkan Islam  menegaskan negara umat Islam adalah satu dengan seorang pemimpin yang satu, yaitu Khilafah Islam.  [Farid Wadjdi]
SUMBER : AL WA'IE

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu