Anak-anak Gaza


SYUHADA TERKESAN DARI ANAK SAMPAI BERKAH TANAH GAZA

Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Kantor Berita MINA
(Tulisan terakhir dari 3 tulisan. Lanjutan dari tulisan sebelumnya: “SYUHADA: DARI BESI TUA SAMPAI MODAL PALU MENUJU PALESTINA” dan “PERJALANAN AJAIB SYUHADA, SANG JURU MASAK RELAWAN INDONESIA”)
Anak-anak Gaza, Palestina, begitu antusias jika bertemu dengan tamu asing. Mereka berani, selalu ingin tahu asal warga asing yang mereka jumpai.
“Setelah kami terangkan bahwa kami dari Indoensia, ujung-ujungnya mereka minta Syekel (mata uang di Gaza),” kata Syuhada Busyro Tosim, relawan Ponpes Al-Fatah Lampung yang diberangkatkan oleh MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) untuk membangun Rumah Sakit Indonesia di Gaza bersama puluhan relawan Al-Fatah lainnya.
Waktu itu, para relawan tidak melayani, karena belum lama di Gaza, para relawan kurang memahami bahasanya anak-anak Gaza.
Anak-anak Gaza mengikuti para relawan berjalan, tidak hanya sekali. Mereka selalu bertanya, bahkan mereka mengikuti sampai beberapa kilometer jauhnya. Yang mereka tanyakan adalah nama, kemudian umur, dari mana, dan sebagainya.
“Pernah kami abaikan, tapi mereka terus mendesak dan agak memaksa, sehingga pernah kami sedikit bergaya kejam (agak keras), ternyata mereka lebih kejam,” kata Syuhada.
Anak-anak Gaza melempar para relawan dari jauh dengan apa saja yang mereka dapatkan. Namun yang mereka lemparkan bukanlah benda-benda yang bisa mencederai, seperti batu-batu kecil.
“Terkadang mereka sengaja mendorong temannya sehingga tubuhnya menabrak kami,” kata Syuhada yang mengakui bahwa anak-anak Gaza adalah anak-anak yang berani terhadap tamu asing, baik dengan maksud bertanya atau pun dalam konteks siap bertempur dengan batu.
Bahkan di setiap sore di satu sisi perbatasan dengan Israel, anak-anak Gaza selalu datang berjalan mendekati tembok perbatasan. Mereka berteriak-teriak dan melempar batu, memprovokasi tentara Israel yang berjaga di atas pagar pembatas. Mereka tidak takut jika mereka ditembak. Itu merupakan rutinitas anak Palestina di Jalur Gaza.
Relawan Kenalkan Indonesia
“Selama saya keliling shalat setiap hari Jumat, ternyata kami tidak dikenal oleh warga Gaza bahwa kami berasal dari Indonesia, bahka mereka menduga kami berasal dari Cina atau Malaysia,” kata Syuhada.
Relawan pun menjelaskan bahwa mereka adalah relawan asal Indonesia yang sedang membangun rumah sakit untuk rakyat Palestina di Gaza.
“Sebagian besar masyarakat Gaza itu tidak tahu Indonesia. Ketika tahu, tanggapan mereka sangat gembira dan bersyukur,” kata pria berusia hampir 50 tahun itu.
Hal serupa juga pernah diceritakan oleh Abu Fikri, Pimpinan Project RS Indonesia, warga Gaza sebelumnya hanya mengenal orang Cina atau Malaysia. Namun proyek rumah sakit yang diprakarsai MER-C dengan dana murni dari rakyat Indonesia untuk rakyat Palestina, membuat Indonesia semakin dikenal di Gaza.
Tingginya Budaya Memberi Makan
Syuhada menuturkan, karena begitu gembiranya warga Gaza menerima kehadiran orang Indonesia sebagai relawan, warga Gaza sampai berebut untuk mengundang para relawan makan di rumahnya.
Seorang warga mengatakan “mari mampir ke tempat saya”, namun warga yang lain berkata “Jangan, saya yang pertama”. Kemudian ditanggapi lagi, “jika demikian di lain waktu ke tempat saya”.
Kehadiran para relawan yang membangun rumah sakit untuk kemudian akan dihadiahkan kepada rakyat Gaza, membuat undangan makan banyak yang berdatangan. Tidak hanya dari masyarakat Gaza sekitar rumah sakit, tapi juga undangan dari warga yang rumahnya harus dicapai dengan berkendaraan.
Di Masjid Jawiah yang berada dekat rumah sakit, sering kali memberi makan setelah shalat Maghrib.
Bahkan ketika bulan Ramadhan, begitu banyaknya yang membawakan makanan, relawan terpaksa membuat daftar tunggu bagi warga yang ingin mengundang atau memberi makan.
“Justeru yang mengundang makan banyak yang jauh, yang harus dijangkau dengan mobil,” kata Syuhada.
Ketika hari-hari terakhir akan pulang, ada undangan makan.
“Saya lupa namanya. Dia memiliki usaha bengkel. Hidangan kali ini paling lengkap dan paling luar biasa.”
Hari itu hari Jumat. Menurut Syuhada, baru di rumah inilah dari semua undangan makan yang pernah dipenuhi oleh para relawan, sebagian relawan bisa melihat keberadaan seorang Muslimat di dalam rumah.
Kondisi itu bisa terjadi dikarenakan jumlah relawan yang banyak, membuat ruang tamu tidak cukup, sehingga sebagian harus duduk di ruang dalam yang berbatasan dengan dapur. Saat itu Muslimat sedang berada di dapur.
Selama ini, para relawan tidak pernah melihat Muslimat dari keluarga pengundang berkecimpung dalam menyajikan hidangan. Ini pun terjadi karena dapur tidak tertutup tembok, hanya dibatasi meja.
Menghitung Serangan Bom Israel
MINA RUDAL ISRAEL SYUHADA TERKESAN DARI ANAK SAMPAI BERKAH TANAH GAZA
Serangan bom Israel ke Gaza (Gambar: owip.net)
Ketika perang delapan hari, ada kaca basement yang sampai pecah akibat kekuatan ledakan beberapa bom yang dijatuhkan ke markas pejuang Hamas.
Di seberang jalan depan Rumah Sakit Indonesia (sekitar 100 meter) ada lahan markas latihan pejuang Hamas. Tempat itu lah yang diserang bom hingga delapan titik, luas yang terkena serangan sekitar seperempat hektar.
Waktu awal perang, suara serangan bom sangat mengejutkan Syuhada dan relawan lainnya yang baru kali itu berada di wilayah perang. Untuk bom yang jatuh di hari-hari biasa, posisinya selalu jauh dari lokasi rumah sakit. Para relawan terkadang hanya melihat kebulan asap tebal di kejauhan, tak berapa lama, beritanya pun tersiar di televisi.
Saat perang delapan hari itu, Syuhada pernah menghitung jumlah bom yang dilepaskan militer Israel ke Gaza, dari pukul 12 malam hingga Subuh. Syuhada catat di buku. Ada 300 kali lebih tentara Israel melepaskan roket.
Sementara di Gaza, pejuang Hamas sekali menembak, mereka melepaskan beberapa roket sekaligus. Hal itu disebabkan karena Israel memiliki perisai rudal bernama Iron Dome. Dari serangan sekaligus itu, pejuang berharap ada roket yang lolos dari tembakan perisai anti roket Israel.
Mudahnya Keinginan Terkabul
MINA PETANI GAZA 300x188 SYUHADA TERKESAN DARI ANAK SAMPAI BERKAH TANAH GAZA
Tanah Gaza yang berkah (Gambar: tribunejuive.info)
Suatu waktu, ketika sedang berjalan ke daerah Bayt Hanoun bersama tiga relawan lainnya, hati kecil Syuhada ingin buah-buahan. Syuhada pun mengajak temannya, “Beli buah, yuk!”
Di depan sana, ternyata langsung ada penjual buah. Kami mampir dan membeli. Setelah kami membeli, ternyata penjual tidak mau dibayar, mutlak memberi.
“Halal… halal!” kata penjual buah.
“Sering ketika kami memiliki keinginan, selalu terwujud kemudiannya,” kata Syuhada. “Pernah suatu hari ingin maptul (makanan dari gandum), tidak berapa lama ada yang datang mengajak makan yang makanannya seperti itu. Seolah-olah keinginan-keinginan hati selalu didengar oleh Allah.”
Cerita tentang terkabulnya keinginan-keinginan kecil para relawan, bukan hanya satu cerita, banyak cerita.
Karidi, relawan Ponpes Al-Fatah asal Wonogiri, juga menceritakan:
“Suatu saat saya jalan-jalan ke pasar bersama Ustadz Luthfi asal Kalimantan Barat. Saya melihat roti ogah yang bulat besar, gaek, makanan ciri khas orang Gaza yang diolesi madu. Saya katakan kepada Ustadz Luthfi, ‘Ustadz, besok kita beli roti itu, itu kan makanan khas orang Gaza’. Setibanya di rumah sakit, ternyata roti seperti itu sudah ada di rumah sakit. Ustadz Abdurrahmah ternyata sudah beli. Mungkin karena di sana adalah bumi yang barakah. Banyak peristiwa-peristiwa yang serupa yang dialami teman-teman. Baru di batin saja, sudah ada di depan mata atas izin Allah.”
Menginjak Tanah Air
Pada akhir Desember 2013, pembangunan RS Indonesia di Gaza, akhirnya selesai seratus persen. Namun karena ada masalah paspor dan perbatasan Rafah ditutup oleh pemerintah Mesir, ke-31 relawan Indonesia harus lebih bersabar lagi untuk bisa keluar dari Gaza, lalu pulang ke Indonesia.
Pada tanggal 25 Februari 2014, atas izin Allah, 19 relawan Indonesia dari 31 orang berhasil keluar menembus perbatasan Rafah setelah menunggu selama sebulan lebih untuk pulang ke Indonesia.
Syuhada termasuk dalam rombongan relawan gelombang pertama yang keluar dari Gaza. Mereka menginjakkan kaki di Indonesia pada tanggal 27 Februari 2014.
Di bandara internasional Soekarno-Hatta, ke-19 relawan disambut penuh haru, suka cita dan syukur, serta pekikan takbir yang berulang-ulang.
Relawan yang bekerja atas nama MER-C, disambut penuh haru oleh anggota keluarga yang ditinggal selama lebih dari 14 bulan.
Selain itu, kepulangan mereka dari misi kemanusiaan di Gaza, disambut pula oleh Imam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) H. Muhyidin Hamidi dan makmum-nya (pengikutnya) serta para staf petinggi MER-C.
Dari bandara, semua relawan menuju ke Ponpes Al-Fatah Cileungsi, Bogor. Di sana mereka disambut dan dijamu sebagai seorang “mujahid” oleh masyarakat sekitar pesantren yang merupakan basis utama Jama’ah Muslimin (Hizbullah). (P09/R2) (Tamat) Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswi SMK Laporkan Kepala Sekolah Cabul

Lereng Merapi-Merbabu Dari Islam ke Kristen Lalu ke Islam Lagi

Wako Ismet Amzis Berminantu